Menulis, sebuah passion yang dulu begitu erat mengikat diri saya, kini terasa semakin menjauh. Hampir sepuluh tahun lalu, saya masih mampu menulis cerpen untuk majalah Hai dan merangkai draft novel, meskipun terkadang hasilnya agak kikuk saat dibaca. Namun, ada satu naskah yang berhasil saya terbitkan, sebuah pencapaian yang saya anggap lumayan bagi seorang anak daerah seperti saya.
Namun, setelah itu, semuanya berubah. Saya terbuai dengan kesuksesan kecil itu. Blog yang dulu rajin saya isi dengan tulisan-tulisan, kini terbengkalai begitu saja. Saya bahkan lupa kapan terakhir kali mengupdate blog. Ironisnya, saya sempat membuat beberapa blog lainnya yang akhirnya juga terlantar. Apa sebenarnya tujuan saya membuat semua itu?
Ada hal lain yang ingin saya bagi, pengalaman saya membantu menulis skenario untuk berbagai acara di Indosiar. Saya masih ingat kebanggaan saat lagu tema serial "Kumenangis Membayangkan Betapa Kejamnya Dirimu" mengalun, meski kini itu hanya menjadi kenangan. Sebelumnya, saya juga terlibat dalam skenario untuk serial-serial seperti Kun Anta, Jodoh Wasiat Bapak, Tuyul Mbak Yul Reborn, Ajib, Bro n Bray, Pintu Berkah, hingga Kisah Nyata. Rasanya begitu hebat menjadi bagian dari itu semua. Tapi sekarang, bagaimana?
Uang honor dari pekerjaan skenario-skenario itu saya habiskan untuk menyewa kos di Solo, dengan impian sederhana untuk melanjutkan S2. Namun, hanya dalam tiga bulan, saya keluar dari kampus tanpa pamit. Saya sadar, betapa beruntungnya saya bisa diterima di Universitas Sebelas Maret. Namun, kesombongan mulai menyelinap. Belajar bukan lagi fokus utama, melainkan ego yang terus membesar. Akhirnya, saya putus dari situ, padahal biaya kosan sudah saya bayar hingga setahun ke depan.
Kemudian, saya mencoba melamar sebagai guru di Pesantren Modern, dan berhasil diterima. Ironisnya, saat melamar, saya diuji kemampuan ngaji. Saya hampir lupa kapan terakhir kali saya mengaji. Saya sadar akan keterbatasan kemampuan saya, namun saya memiliki tekad yang kuat untuk belajar dari orang-orang yang lebih baik. Itulah yang membuat saya berani melangkah.
Keesokan harinya, saya dipanggil kembali. Awalnya saya pikir hanya untuk membicarakan kontrak, namun ternyata saya langsung diminta untuk mengajar kelas 2, yang siswanya mayoritas berasal dari kalangan priviledged. Itu tantangan baru bagi saya.
Sebelumnya, saya bekerja sebagai operator sekolah, mengurus administrasi tanpa gaji yang sepadan. Lalu, kesempatan bekerja di pesantren datang seperti jawaban doa. Namun, berada di tengah orang-orang kreatif sebaya membuat saya merasa tertekan. Kreativitas yang saya miliki hanya muncul saat dalam keadaan kepepet. Sehingga, saya sering merasa kehabisan energi karena terlalu menunggu momen kepepet.
Menulis? Mungkin ini saat yang tepat untuk saya kembali menemukan kembali gairah itu. Menceritakan kembali perjalanan hidup saya, dengan segala lika-likunya, bisa menjadi langkah awal yang baik. Karena menulis bukan hanya soal prestasi, tapi juga tentang perjalanan hidup yang penuh warna.
Terima kasih Hadi sudah menulis.
BalasHapusAssalamualaikum Pak guru, salam kenal saya juga guru yang insyaallah Desember tahun ini akan menjadi pensiunan guru. Kalau Mas Hadi sudah menulis sejak puluhan tahun lalu, saya sebaliknya, saya baru serius menekuni hobi lama saya menulis dan berniat akanmengisi masa pensiun dengan menulis. Semangat terus yah...semoga profesinya sebagai guru berkah dan diridoi oleh Allah Swt.
BalasHapus